Palestina Tolak Kota Abu Dis Sebagai Ibu Kota

Dubes Palestina Untuk Indonesia (F/As.Int)
Jakarta – Nada bicara tegas terlontar dari Duta Besar Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al-Shun saat Tim CNNIndonesia.com menanyakan soal kabar bahwa Amerika Serikat menawarkan kota Abu Dis sebagai ibu kota Palestina sebagai ganti Yerusalem Timur.

“Ibu kota Palestina satu-satunya hanyalah Tanah Suci dan Kota Suci Yerusalem. Apapun yang ditawarkan Amerika Serikat, tidak bisa diterima,” kata Al-Shun yang mengubah Bahasa wawancara seketika, dari Bahasa Arab ke Bahasa Inggris.

Tawaran AS muncul seiring dengan keputusan Presiden Donald Trump yang berkeras mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel awal Desember lalu. Presiden Palestina Mahmoud Abbas memastikan adanya tararan yang dilansir pertama kali boleh media Amerika Serikat New York Times.  Abbas pun menyatakan menolak keras tawaran AS tersebut dalam pidatonya di Dewan Pusat Organisasi Pembebasan Palesina (PLO) di Ramallah, Senin (15/1).

Al-Shun menegaskan tidak ada siapa pun, bahkan orang Palestina yang boleh menyetujui setiap resolusi yang mengabaikan Yerusalem Timur sebagai ibu kota masa depan Palestina, termasuk keputusan sepihak AS.

“Kami melihat keputusan Presiden Trump mengejutkan, di mana AS yang selama ini berperan sebagai salah satu mediator dan seharusnya bersikap netral malah memberi ibu kota Palestina untuk negara yang menjajah tanah Palestina. Ini melawan semua resolusi PBB dan melawan hukum internasional,” kata mantan Direktur Jenderal PLO tersebut.

Keputusan Trump pun dinilai Al-Shun semakin merusak proses damai antara Palestina dan Israel yang selama ini diupayakan komunitas internasional. Al-Shun bahkan mengatakan pasca keputusan Trump, situasi di Palestina semakin jauh dari kondusif untuk bisa mengedepankan konsep solusi dua negara sebagai jalan keluar konflik negaranya dengan Israel.

“Kalau kami melihat situasinya saat ini di lapangan, menurut saya solusi dua negara itu sulit. Solusi yang sekarang, menurut saya harusnya solusi one state untuk dua ras, dua bangsa, dua grup, dan satu pemerintahan,” kata Al Shun.

Solusi dua negara merupakan jalan keluar yang selama ini diyakini komunitas internasional mampu mengakhiri pertikaian Palestina dan Israel. Selama puluhan tahun, setiap Presiden AS sebelum Trump berkeras bahwa solusi itu satu-satunya jalan membawa perdamaian di Timur Tengah. Konsep itu menjunjung pendirian dua negara Israel serta Palestina yang hidup berdampingan, dan kota Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina.

Al Shun mengatakan selama ini Palestina berusaha bersikap koperatif terhadap setiap resolusi internasional dan proses perdamaian, termasuk solusi dua negara. Namun, menurut mantan dubes Palestina untuk Maroko itu, Israel selalu bersikap sebaliknya.

Dia mengatakan Israel berkeras menerapkan kebijakan diskriminatifnya terhadap warga Palestina, salah satunya dengan terus memperluas pendudukan ilegal di wilayah Palestina. Padahal, resolusi Dewan Keamanan PBB pada Desember 2016 lalu mengecam serta menolak tindakan ilegal Israel tersebut.

“Awalnya kami menerima solusi dua negara dan semua keputusan/resolusi organisasi Internasional melalui proses damai. Tetapi kami selalu menghadapi penolakan dari pihak Israel, di mana mereka tidak mau mengikuti dan melaksanakan keputusan ini,” tutur Al Shun
“Karena itu kami sekarang putus asa dengan situasi yang ada saat ini di tanah Palestina. Dengan situasi di lapangan seperti sekarang ini, kami juga putus asa melihat peluang solusi dua negara,” lanjutnya.

Melihat situasi yang sedang dihadapi Palestina, Al Shun bahkan merasa tidak terlalu optimistik melihat peluang kemerdekaan negaranya sendiri.Sebab, tak hanya memutus secara sepihak soal status Yerusalem, AS turut memangkas separuh dari total US$125 juta dana bantuan bagi Palestina jika negara itu tidak mau kembali berunding dengan Israel.

Dana bantuan itu tertuang dalam mekanisme Badan Pekerjaan dan Pemulihan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) dan AS merupakan donor terbesar organisasi tersebut.
Menurut Al-Shun, dana bantuan UNRWA merupakan salah satu yang menjadi andalan bagi sekitar 3 juta dari total 6 juta pengungsi Palestina.

Tak hanya menyalurkan bantuan materi, dia mengatakan UNRWA juga memberi bantuan pembangunan kapasitas bagi warganya seperti pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur, dan kebutuhan di kamp pengungsian. “Dengan pemotongan 75 persen ini akan membuat krisis serius karena UNRWA tidak hanya memberi bantuan saja seperti makanan, tapi juga pendidikan, sekolah, dan pembangunan kapasitas lainnya,” kata Al-Shun.

“Kami khawatir dengan pemotongan dana ini mendorong pengungsi Palestina pergi [berimigrasi] ke negara lain. Itu yang kami tidak harapkan untuk terjadi karena kami ingin warga Palestina tetap berada di negaranya,” lanjutnya.

Menanggapi desakan AS untuk kembali berunding dengan Israel, Al Shun menegaskan negaranya selalu mendukung setiap upaya negosiasi yang ditujukan untuk mendamaikan Palestina dan Israel, asalkan solusi itu didasarkan pada prinsip yang adil dan tak mengabaikan hak Palestina untuk merdeka.

“Tanpa membiarkan orang Palestina mendapatkan negara merdeka, tidak akan ada perdamaian dan kestabilan di Timur Tengah,” ujarnya.(#)
Sumber :CNN Indonesia

Subscribe to receive free email updates: