RUU Terorisme Disahkan DPR Hari Ini

Hasil gambar untuk sidang ruu teroris
Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Terorisme Muhammad Syafii (kanan) dan Wakil Ketua Pansus RUU terorisme Supiadin Aries Saputra (kiri), di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Jakarta, Beritatimur.id -- Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme atau RUU Terorisme bakal disahkan dalam rapat paripurna DPR hari ini, Jumat (25/5).

Pengesahan itu dilakukan setelah dalam rapat kerja antara DPR dengan pemerintah menyepakati konsep definisi terorisme alternatif kedua, Kamis (24/4) malam.

"Paripurna Insyaallah pada [Jumat, 25/5] jam 10.00 WIB untuk mengambil keputusan di tahap dua," kata Ketua Pansus RUU Terorisme Muhammad Syafii di kompleks parlemen.

Adapun konsep definisi terorisme alternatif kedua yang disepakati pemerintah dan DPR yaitu;

Terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik atau fasilitas internasional dengan motif politik, ideologi, atau gangguan keamanan.

Secara keseluruhan, perubahan di revisi UU Terorisme meliputi penambahan substansi atau norma baru untuk menguatkan peraturan dalam UU sebelumnya. 

Wakil Ketua Pansus RUU Terorisme Supiadin Aries Saputra menyampaikan delapan poin penambahan substansi atau norma baru tersebut, yakni:

Pertama, kriminalisasi baru terhadap berbagai rumus baru tindak pidana terorisme seperti jenis bahan peledak, mengikuti pelatihan militer atau paramiliter atau latihan lain, baik di dalam negeri maupun luar negeri dengan maksud melakukan tindak pidana terorisme.

 Hasil gambar untuk sidang ruu teroris

Kedua, pemberatan sanksi terhadap pelaku tindak pidana terorisme baik permufakatan jahat, persiapan, percobaan dan pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme. 

Ketiga, perluasan sanksi pidana terhadap korporasi yang dikenakan kepada pendiri, pemimpin, pengurus, atau orang-orang yang mengarahkan kegiatan korporasi. 

Keempat, penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk memiliki paspor dalam jangka waktu tertentu. 

Kelima, keputusan terhadap hukum acara pidana seperti penambahan waktu penangkapan, penahanan, dan perpanjangan penangkapan dan penahanan untuk kepentingan penyidik dan penuntut umum serta penelitian berkas perkara tindak pidana terorisme oleh penuntut umum. 

Keenam, perlindungan korban tindak pidana sebagai bentuk tanggung jawab negara. 

Ketujuh, pencegahan tindak pidana terorisme dilaksanakan oleh instansi terkait seusai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan BNPT.

Kedelapan, kelembagaan BNPT dan pengawasannya serta peran TNI. 


Rumusan Tambahan

Selain itu terdapat juga rumusan fundamental strategis dari hasil masukan berbagai anggota Pansus bersama Panja pemerintah. Hal tersebut termaktub dalam 12 poin yaitu sebagai berikut;

Satu, adanya definisi terorisme agar lingkup kejahatan terorisme dapat diidentifikasi secara jelas sehingga tindak pidana terorisme tidak diidentikkan dengan hal-hal sensitif berupa sentimen terhadap kelompok atau golongan tertentu tapi pada aspek perbuatan kejahatannya. 

Dua, menghapus sanksi pidana pencabutan status kewarganegaraan. Hal ini dikarenakan sesuai universal declaration of human right 1948 adalah hak bagi setiap orang atas kewarganegaraan dan tidak seorang pun dapat dicabut kewarganegaraannya secara sewenang-wenang atau ditolak haknya untuk mengubah kewarganegaraannya. 

Tiga, menghapus pasal yang dikenal oleh masyarakat sebagai pasal Guantanamo yang menempatkan seseorang sebagai terduga terorisme di tempat atau lokasi tertentu yang tidak dapat diketahui oleh publik. 
Hasil gambar untuk pasukan anti teror
simulasi-anti-teror-di-malang
Empat, menambahkan ketentuan mengenai perlindungan korban tindak pidana terorisme secara komprehensif mulai dari definisi korban, ruang lingkup korban, pemberian hak hak korban yang semula di UU 15/2003 hanya mengatur kompensasi dan restitusi saja. Kini dalam UU Tindak Pidana Terorisme yang baru telah mengatur pemberian hak berupa bantuan medis rehabilitasi psikologis, rehabilitasi psikososial, santunan bagi korban yang meninggal dunia, pemberian restitusi dan pemberian kompensasi. 


Lima, mengatur pemberian hak bagi korban yang mengalami penderitaan sebelum RUU Tindak Pidana Terorisme ini disahkan. Artinya bagi para korban sejak bom Bali pertama sampai Bom Thamrin. 

Enam, menambahkan ketentuan pencegahan. Dalam konteks ini, pencegahan terdiri dari kesiapsiagaan nasional kontraradikalisasi dan deradikalisasi. 

Tujuh, memasukkan ketentuan bahwa korban terorisme adalah tanggung jawab negara. 


Delapan, melakukan penguatan kelembagaan terhadap BNPT dengan memasukkan tugas, fungsi, dan kewenagan BNPT. 

Sembilan, menambah ketentuan mengenai pengawasan.

Sepuluh, menambah ketentuan pelibatan TNI yang dalam hal pelaksanaannya akan diatur dalam peraturan presiden dalam jangka waktu pembentukannya maksimal 1 tahun setelah UU ini disahkan. 

Sebelas, mengubah ketentuan kejahatan politik dalam pasal 5, di mana mengatur bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari kejahatan politik yang tidak dapat diekstradisi. Hal ini sesuai ketenuan UU 5/2006 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Pemberantasan Pengeboman oleh Teroris. 

Dua belas, menambah pasal yang memberikan sanksi terhadap aparat negara yang melakukan abuse of power. 

"Demikian beberapa kemajuan dalam pembahasan yang telah dicapai dalam pembahasan RUU ini. Perubahan terjadi juga dalam segi redaksional dan pasal dan ayat. RUU ini akan lebih sistematis," kata Supiadin. (--)

Sumber : cnnindonesia

Subscribe to receive free email updates: