MENGENANG 6 HARI,PASKA MENINGGALNYA RAZAN NAJJAR SEBAGAI PAHLAWAN PALESTINA




RAZAN  Ashraf Al Najjar hari itu (1 Juni) berlari mendekati pagar kawat berduri di antara Israel dan Gaza. Perempuan muda itu hendak menolong demonstran yang terluka. Beberapa rekannya sesama relawan medis sempat mencegahnya. Namun Razan, dalam wawancaranya dengan New York Times sebulan sebelumnya, menyatakan bahwa sebagai relawan medis, tujuannya adalah menyelamatkan nyawa dan evakuasi. Karena itulah ia tetap berlari.
Tiba-tiba, timah panas menembus dadanya yang mengenakan baju putih. Di hari yang sedemikian terang, tentara Israel (IDF) seharusnya tahu persis bahwa Razan adalah relawan medis. Apalagi, pada tanggal 31 Maret, juru bicara IDF mengklaim di Twitter, “..semuanya akurat dan terukur, dan kami tahu kemana setiap peluru menerjang.”
Razan tumbang dan akhirnya meninggal dunia.  Kematiannya memunculkan kecaman dari beberapa tokoh dan organisasi internasional.  Komisioner PBB untuk HAM,James Heenan, menyatakan bahwa menurut UU HAM Internasional, senjata mematikan hanya boleh digunakan sebagai langkah terakhir ketika ada ancaman yang nyata.
“Bagaimana mungkin Razan dianggap sebagai ancaman di hadapan tentara Israel yang dilengkapi senjata berat, sangat terlindung, dan dalam posisi siaga di seberang pagar?” tanya Heenan.
Pertanyaan serupa terus diucapkan setiap kali kejahatan kemanusiaan Israel diberitakan. Misalnya, PBB mencatat bahwa sepanjang tahun 2015 ada 283 insiden terkait pendidikan di Tepi Barat, seperti pembombardiran 96 sekolah, 46 serangan terhadap pelajar dan guru, dan 62 kasus gangguan terhadap proses belajar-mengajar, seperti penutupan sekolah dan pemenjaraan para guru dan murid. Khusus di Gaza, ada 262 sekolah dan 274 TK yang rusak atau hancur dalam serangan IDF tahun 2014.
Bagaimana mungkin anak-anak tanpa senjata itu dianggap ancaman oleh IDF?  
Razan adalah korban tewas ke-119 dalam aksi demo bertajuk ”Great March Return” yang diinisiasi kaum muda Gaza sejak 30 Maret. Selain korban tewas, ada lebih dari 5.500 orang yang terluka akibat tembakan peluru maupun gas air mata tentara Israel (Kementerian Kesehatan Palestina).
Namun Razan adalah korban entah kesekian sejak Israel didirikan.  Bila kita melihat catatan sejarah, Resolusi PBB 181 tahun 1947 telah membagi dua wilayah Palestina, 56%  dialokasikan menjadi  "negara Yahudi" dan sisanya untuk "negara Arab". Sementara itu, pengelolaan kota Yerusalem kepada Special International Regime. Resolusi itu segera disusul dengan pengusiran dan pembantaian warga Arab Palestina oleh milisi-milisi teror Zionis.  Sejarawan Yahudi,  Dr. Ilan Pappe, menuliskan dengan detil kejadian tersebut dalam bukunya, “Pembersihan Etnis di Palestina”.
Pada tahun 1948, Israel pun dideklarasikan. Namun hari ini, wilayah yang dikuasai Israel jauh lebih luas daripada ”jatah” yang diberikan PBB kepadanya pada 1947. Penambahan wilayah itu terjadi melalui perang dan pengusiran, yang bahkan terus berlangsung hingga kini. Pada paruh pertama tahun 2016 saja, Israel merampas 450 warga Palestina dan menduduki lebih dari 3.000 hektar tanah milik warga Tepi Barat untuk dijadikan permukiman Yahudi (Applied Research Institute Jerusalem).  
Israel seolah tak tersentuh, sementara dunia hanya mampu memberikan kecaman sporadis. Ketika kejahatan Israel tereskalasi dan mendapatkan perhatian dari publik, kecaman memanas. Namun setelah itu dunia diam, sampai muncul lagi kejahatan besar berikutnya.
Sejak beberapa tahun terakhir, seiring dengan kemunculan ISIS dan berbagai kelompok teror yang berafiliasi dengan Al Qaida, perhatian publik dunia teralihkan dari Palestina. Dinamika politik internal di berbagai negara pun sangat berpengaruh pada seberapa besar perhatian yang diberikan kepada nasib Palestina, satu-satunya bangsa yang masih terjajah di era modern ini. 
Pengabaian ini seolah sudah diprediksi oleh pemimpin Iran, Ruhullah Khomeini. Pada tahun 1979, ia menetapkan Hari Al Quds Internasional, yaitu hari Jumat terakhir di bulan Ramadan. Pada hari itu, di berbagai negara dunia dilangsungkan aksi demontrasi untuk mengangkat kembali narasi Palestina ke tengah opini publik. 
Indonesia pun berperan aktif dalam memperjuangkan isu Palestina agar terus menjadi perhatian dalam berbagai forum internasional.
“Isu kemerdekaan Palestina adalah jantung dari politik luar negeri kita. Setiap helaan napas diplomasi Indonesia di situ ada Palestina. Upaya kita tidak pernah berhenti untuk membantu Palestina,” demikian kata Menlu Retno L. Marsudi (2017).  
Melalui berbagai langkah diplomasi, termasuk upaya Indonesia, pada 30 Oktober 2015 Palestina diakui PBB sebagai negara pemantau non-anggota. Namun kemerdekaan hakiki masih belum tercapai. Dari jumlah total warga Palestina sekitar 11,8 juta (Palestinian Central Bureau of Statistics, 2013), sekitar 6 juta orang masih menjadi pengungsi di berbagai negara. Mereka semua belum meraih right of return (hak untuk kembali). Sementara yang tinggal di Palestina pun terus mengalami penindasan.
Kematian Razan seolah menjadi pertanda bahwa perjuangan meraih kemerdekaan Palestina masih panjang. Karena itulah momentum Hari Al Quds Internasional tanggal 8 Juni perlu dimanfaatkan untuk mengarusutamakan kembali dukungan publik pada Palestina serta mengingatkan bangsa ini kepada janji Bung Karno (1962), “Selama kemerdekaan bangsa Palestina belum diserahkan kepada orang-orang Palestina, maka selama itulah bangsa Indonesia berdiri menantang penjajahan Israel.”***
FS


Subscribe to receive free email updates: