Nada Sesal dan Cerita Indah Penumpang Setia Metromini

Nada Sesal dan Cerita Indah Penumpang Setia MetrominiIlustrasi Penumpang Metromini. 
Jakarta, Beritatimur -- Sebagai primadona angkutan umum, Metromini pernah mengalami masa jaya. Penumpang tak usah dicari, mereka menunggu berjajar di sepanjang jalan. 

Namun itu dulu, era belum ada angkutan online dan Transjakarta yang kini menguasai tiap jengkal jalanan ibu kota. 

Metromini sang primadona, kini terseok-seok mencari penumpang. Setoran memang sudah diturunkan oleh pemilik Metromini. Namun tetap saja sopir mesti kerja ekstra keras untuk mendapat kelebihan uang setoran.

Untuk satu rit, sopir mesti beberapa kali mengetem menunggu penumpang. Keluh kesah dan protes penumpang yang sudah terlanjur naik tak lagi digubris. Hal itu harus dilakukan atas nama uang setoran. 

Untuk mengurangi biaya operasional, berbagai cara dilakukan. Dari mulai menggunakan onderdil bekas, tak lagi menggunakan kondektur, hingga memperbaiki sendiri bus yang rusak.


Namun tetap saja, penumpang Metromini saat ini sudah sepi. Mereka seakan sudah beralih ke model angkutan lain menawarkan kenyamanan dan kepraktisan.

Namun meski begitu, saja ada saja warga ibu kota yang setia naik bus warna oranye ini.

Cerita Indah Penumpang Setia Metromini (EBG-10)Armada bus Metromini. (ANTARA FOTO/M Ali Wafa)

Damini salah satunya. Walau kemudahan teknologi menawarkan jasa transportasi daring, tetapi bagi perempuan 52 tahun ini lebih nyaman menumpang Metromini.

Ia saban hari menumpang Metromini S 74 jurusan Blok M-Rempoa untuk berdagang di Pasar Kebayoran Lama. Sudah hampir tiga dasawarsa dia melakoni rutinitas itu.

"Saya udah ngerasain deh hampir semua Metromini. Mulai dari yang mobilnya butut sampai sekarang pakai AC," ujar Darmini kepada CNNIndonesia.com.

Menurut Darmini, menumpang Metromini memang lebih murah. Bahkan dia dahulu kerap membawa barang dagangan yang tidak habis.

"Keneknya enggak marah juga kalau saya bawa barang. Paling saya tambah ongkos gopek (Rp500) dulu. Daripada naik bajaj. Tapi itu kan dulu. Sekarang udah enggak bisa," ujar Darmini.


Seiring zaman, Darmini lambat laun memahami sebagai penumpang dia juga butuh kenyamanan ketika menumpang angkutan umum. Termasuk para penumpang lainnya. Maka mereka tidak bisa lagi semena-mena. Ada harga yang harus dibayar untuk tuntutan itu.

Penumpang setia Metromini yang lain, Doni punya cerita sendiri. Pria 31 tahun ini mengaku gemar menumpang angkutan umum ketika mulai masuk sekolah menengah pertama. 

Jarak sekolahnya di kawasan Melawai, Jakarta Selatan cukup jauh dari rumahnya. Doni lebih memilih naik Metromini ketimbang naik mobil jemputan karena malu.

"Malu kalau ketauan naik jemputan. Akhirnya mulai berani naik angkutan umum," ujar Doni.

Naik Metromini saat itu bukan tanpa risiko. Tahun 90-an, masih marak aksi tawuran pelajar. Metromini bukan cuma jadi arena cekcok dengan sesama pelajar, tapi juga alat angkut mereka yang hendak tawuran.

Jumat dan Sabtu kerap jadi hari di mana para pelajar Jakarta saat itu untuk tawuran.

"Kalau mau ribut (tawuran), kami palang Metromini sebelum Mayestik. Bus kami bajak, bikin miring, anak-anak gelantungan. Sudah deket musuh, kita turun, ribut," ujar Doni.

Cerita mengesankan lain dituturkan Doni saat bersama teman-temannya menyewa Metromini untuk menonton pertandingan Persija di Stadion Lebak Bulus. 

Cerita Indah Penumpang Setia Metromini (EBG-10)(Awak Metromini tengah tidur di bus. (ANTARA FOTO/M Ali Wafa)

Ia bersama teman-temannya iuran untuk bisa menyewa Metromini. Namun uang yang terkumpul jarang dihitung. Namun ia yakin jumlahnya kurang dari perjanjian antara dirinya dengan sopir Metromini.

Karena itu begitu sampai Lebak Bulus, uang tersebut langsung diberikan saja ke sopir.

"Gue tinggal kabur aja. Paling sopir sama kenek (kondektur) marah-marah," kata Doni sambil tertawa.

Hari-hari terakhir Metromini juga dirasakan Wagimin, warga Ciledug. Pria paruh baya ini sudah berlangganan Metromini S69 sejak 1986.

Biasanya ia menumpang Metromini untuk menuju kantornya di Sudirman, Jakarta Pusat. Wagimin bekerja sebagai office boy di salah satu bank swasta.

Lain lagi cerita Wagimin. Meski Transjakarta menawarkan segala kenyamanan, pria asal Wonogiri, Jawa Tengah ini lebih memilih naik Metromini.

Sudah lebih dari 30 tahun Wagimini menggunakan jasa Metromini.

"Enggak terlalu masalah enggak ada AC, yang penting gampang-gampang aja. Repot kalau Transjakarta," katanya.


Padahal ongkos naik Metromini lebih mahal. Dalam sehari, ia harus mengeluarkan ongkos Rp28 ribu untuk ke tempatnya bekerja. Sementara jika naik Transjakarta hanya Rp21 ribu dan lebih nyaman karena ada penyejuk udara dan tak macet.

Meski begitu, Wagimin pasrah jika transportasi favoritnya, Metromini, punah.

"Ya terserah saja, ikutin aja. Yang ada aja, mungkin nanti diantar anak," kata Wagimin.

Kesedihan akan ditinggal Metromini juga dialami Gareng alias Abu, pedagang minuman.

Gareng merasakan akhir hayat Metromini tak lama lagi. Hal itu ia prediksi dari pendapatannya yang semakin menurun kala berjualan minuman dingin.

"Dulu ya ramai, lumayan. Sehari bisa habis dua tiga ember. Sekarang satu aja boro-boro," katanya saat ditemui di Terminal Blok M.

Gareng menyebut satu ember biasanya berisi satu dus air mineral, lima belas botol teh manis, dan beberapa gelas kopi kemasan.

Kala itu ia bisa mengantongi pendapatan bersih Rp100 ribu per hari. Namun kini hanya sepertiganya.

Pria asal Majalengka itu merindukan saat awal ia berjualan di Metromini pada 1986. Kala itu tak sulit menjual minuman karena Metromini selalu disesaki penumpang.

"Dulu mah, penuh sampai miring-miring. Sekarang sudah ngetem berjam-jam juga enggak ada sewanya," kenang dia.

Ia berharap umur Metromini masih panjang. Gareng mengaku belum tahu harus berjualan di mana jika Metromini punah.

"Waktu itu pernah jualan buka warung, tapi ditutup juga sama Satpol PP. Sekarang mau buka, sewanya mahal, pendapatannya enggak ada," imbuhnya. (ayp) 

cnnindonesia

Subscribe to receive free email updates: