Yusril dan Bola Liar Pembebasan Abu Bakar Ba'asyir
Bola liar tentang pembebasan Ba'asyir bermula ketika Yusril Ihza Mahendra yang berstatus Penasihat Hukum pasangan calon presiden-wakil presiden Joko Widodo-Ma'ruf Amin mendatangi Lapas Gunung Sindur, Bogor. Di sana Yusril mengatakan bahwa dia telah ditugaskan oleh Presiden Jokowi untuk mengumpulkan data, mengamati, upaya pembebasan Ba'asyir. Kata Yusril, seharusnya pembebasan Ba'asyir bulan Desember 2018 tapi karena belum ada kesepakatan dan terkendala berbagai peraturan, dan syarat, maka kemungkinan Ba'asyir baru bisa dibebaskan Januari.Di hari yang sama, saat kunjungannya ke Garut, Jawa Barat, Jokowi pun menyinggung soal rencana pembebasan Ba'asyir itu. "Ya yang pertama memang alasan kemanusiaan, artinya Beliau kan sudah sepuh (tua). Ya pertimbangannya pertimbangan kemanusiaan. Karena sudah sepuh. Termasuk ya tadi kondisi kesehatan," kata Jokowi seusai meninjau Pondok Pesantren Darul Arqam, di Garut, Jumat (18/1).Tapi, di tengah rencana pembebasan Ba'asyir, muncul persoalan. Ba'asyir enggan memenuhi syarat pembebasan bersyarat yakni menandatangani janji setia kepada Pancasila. Hal itu diduga menjadi sebab Menko Polhukam Wiranto melontarkan pernyataan akan mengkaji ulang pembebasan bagi Ba'asyir.Faktanya, hingga Rabu (22/1) belum ada keputusan tentang pembebasan Ba'asyir. Tak hanya keluarga Ba'asyir, masyarakat pun bertanya, apakah Ba'asyir batal bebas? Bola liar kini ada di tangan Jokowi.
Berdasarkan pasal 43 A poin c Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 tahun 2012 tentang Syarat dan Tata cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan disebutkan bahwa Pemberian Pembebasan Bersyarat untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme harus memenuhi syarat telah menunjukkan kesadaran dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana dan menyatakan ikrar: 1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia, atau 2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme.
Pengamat Hukum Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan Presiden Joko Widodo harus memiliki landasan untuk membebaskan Ba'asyir. Jadi, jika Ba'asyir bebas tanpa landasan hukum, maka akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum."Jika tidak ada landasannya, ini akan mengacaukan sistem, artinya meski dengan pertimbangan kemanusiaan tetap harus ada landasannya, jika tidak, Presiden dapat dianggap mengangkangi konstitusi," katanya kepada CNNIndonesia.com.Jokowi, katanya, harus membuat landasan hukum, seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), Perpres atau Peraturan Menteri Hukum dan HAM sebagai dasar tindakannya. "Agar tidak menimbulkan kesan semaunya demi tujuan tertentu, misalnya politik," kata dia.
Jokowi, selaku presiden bisa memerintahkan jajarannya, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM untuk membebaskan seorang narapidana berdasarkan peraturan perundangan yang mengatur hak-hak narapidana, seperti remisi, asimilasi, cuti mengunjungi keluarga, dan pembebasan bersyarat.Kata Fickar, Jokowi harus berhitung cermat, jangan hanya pertimbangan elektabilitas lantas menabrak seluruh aturan untuk membebaskan Ba'asyir.
Menurut dia, ada cara selain 'pembebasan bersyarat' untuk menyiasati pembebasan Ba'asyir yang tidak ingin menandatangani syarat sebuah 'Pembebasan Bersyarat' seperti diatur dalam PP 99/2012, yakni dengan skema 'amnest'i atau 'bebas tanpa syarat'."Lembaga amnesti yang bisa digunakan, tanpa permintaan Ba'asyir, Presiden bisa mengampuni dengan amnesti membatalkan putusan yang telah ada," katanya.Tapi, bila menggunakan skema amnesti, akibatnya Baasyir akan dianggap tidak bersalah. "Atau jika akan memakai skema 'bebas tanpa syarat' harus dibuat dasar hukum baru setaraf dengan UU, karena bebas bersyarat saja pakai UU," katanya.