Gugatan PMH Terhadap Dewan Pers Memasuki Babak Baru, Penggugat Ajukan Banding
Hal tersebut disampaikan Dolfie Rompas kepada pekerja media usai memasukkan memori banding tersebut ke PN Jakarta Pusat. “Atas nama para penggugat, kami telah mendaftarkan permohonan banding atas putusan PN Jakarta Pusat yang menolak gugatan PMH klien kami beberapa waktu lalu. Hari ini kami masukan memori bandingnya,” ujar Dolfie Rompas.
Sebagai pertimbangan dalam mengajukan permohonan banding tersebut, lanjut pengacara yang murah senyum ini, antara lain bahwa hakim dinilai tidak cermat dalam membaca dan menganalisa substansi gugatan para penggunggat. Ditambah lagi, dalam persidangan yang digelar sebanyak tidak kurang dari 27 kali yang menghadirkan berbagai saksi fakta maupun ahli pers dari kedua belah pihak, majelis hakim terkesan tidak mempertimbangkannya sama sekali. Padahal, saksi dari pihak tergugat yang dihadirkan di persidangan juga membenarkan bahwa sesuai UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, Dewan Pers tidak diberikan kewenangan untuk membuat aturan-aturan pers.
“Kami menilai bahwa mejelis hakim tidak cermat dalam menilai substansi guguatan PMH terhadap Dewan Pers. Yang menjadi pokok gugatan klien kami adalah bahwa Dewan Pers telah melampaui kewenangannya dalam mengatur kehidupan pers, seperti verifikasi organisasi, verifikasi media, dan melaksanakan uji kompetensi wartawan. Undang-undang tidak mengatur bahwa Dewan Pers diberi kewenangan untuk itu. Ahli pers yang dihadirkan oleh Dewan Pers juga membenarkan hal tersebut, namun hakim tutup mata dengan keterangan para ahli maupun saksi fakta yang dihadirkan di persidangan,” urai Dolfie Rompas.
Sementara itu, Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke menilai bahwa dalam setiap kali persidangan, sangat jelas terlihat para hakim yang mengadili perkara PMH terhadap Dewan Pers gamang, cenderung tidak memahami persoalan yang disidangkan. “Saya hampir tidak pernah absen, selalu mengikuti persidangan, dan senantiasa memperhatikan sikap, pertanyaan, dan pernyataan para majelis hakim. Saya berkesimpulan, maaf, hakim tidak mengerti apa yang disidangkannya. Mereka perlu mempelajari substansi kemerdekaan pers sebagai Hak Asasi Manusia yang paling asasi sesuai Pasal 28F UUD NKRI dan Artikel 19 Piagam PBB,” kata Wilson yang merupakan alumni program pascasarjana bidang Global Ethics dan Applied Ethics dari 3 universitas terbaik di Eropa, Birmingham University Inggris, Utrecht University Belanda, dan Linkoping University Swedia.
Selanjutnya, alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu juga menyatakan bahwa berdasarkan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, sebenarnya Dewan Pers itu bukan lembaga yang dibentuk untuk sekelompok wartawan yang diklasifikasikannya sebagai konstituennya. “Dewan Pers itu dibentuk dan di-keppres-kan dengan fungsi menjaga dan mengembangkan kemerdekaan pers untuk seluruh wartawan atau pekerja pers, bahkan untuk seluruh rakyat, bukan hanya untuk segelintir orang yang tergabung di organisasi tertentu itu. Seluruh rakyat Indonesia ikut andil membiayai operasional Dewan Pers melalui APBN yang mereka kuras setiap tahun melalui Kementerian Kominfo, namun mengapa lembaga itu hanya mengakomodir kepentingan sekelompok wartawan saja? Tuman..!!” ujar Wilson penuh rasa heran.
Dia menjelaskan juga bahwa segala aturan yang dibuat Dewan Pers yang notabene melanggar aturan perundangan selama ini dapat diduga adalah untuk menjaga berbagai kepentingan dari kelompok tertentu sehingga aman dari akses pihak lain terhadap potensi kepentingan tersebut. Para penguasa media, termasuk segelintir organisasi pers yang selama ini mendapatkan keuntungan dari geliat dunia pers, berkolaborasi dengan oknum penguasa, telah berhasil membentengi kepentingan mereka dari jangkauan para pendatang baru di dunia pers.
Terkait dengan permohonan banding yang sudah diajukan, Wilson berharap kiranya majelis hakim di tingkat banding dapat lebih cerdas melihat substansi gugatan dan memberikan keputusan yang adil. “Yaa, sebagai pihak pembanding atas gugatan kita yang ditolak di tingkat pengadilan negeri, kita berharap kiranya mejelis hakim di tingkat banding akan lebih cerdas membaca dan menilai substansi gugatan kita tersebut, dan selanjutnya memberikan putusan yang adil demi tegaknya kemerdekaan pers bagi seluruh wartawan dan rakyat Indonesia,” pungkas tokoh pers nasional yang selama ini getol membela para wartawan yang dikriminalisasi di berbagai daerah itu. (HWL/Red)