DPI dan Sekber Pers Harus Lakukan Dua Penguatan
Rapat Bersama DPI dan Sekretariat Bersama Pers Indonesia, Jumat 03 Mei 2019
Jakarta, Beritatimur - Dewan Pers Indonesia (DPI) dan Sekretariat Bersama (Sekber) Pers Indonesia harus kompak melakukan dua penguatan sekaligus untuk menjaga eksistensinya kepada publik dan kepercayaan konstituennya.
Dua penguatan itu adalah penguatan
eksternal dan internal secara sekaligus untuk menjamin kepercayaan publik serta memberikan rasa aman dan nyaman bagi ribuan anggotanya yang tersebar di tanah air, usai Kongres Pers Indonesia yang mencatat sejarah terbentuknya DPI, kata Anggota Badan Pengawas DPI, Fredrich Kuen MSi menjawab pers usai rapat bersama di Hotel Ashley Jakarta, Jumat.
Rapat bersama DPI dan Sekber Pers Indonesia ini bertema penguatan kelembagaan DPI dan implementasi hasil Kongres Pers Indonesia.
Menurut dia, sambil melakukan lobi lobi penguatan menunggu status formilnya berupa Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia diterbitkan maka secara internal DPI dan Sekber Pers Indonesia juga harus melakukan penguatan internal dalam bentuk kegiatan edukasi bagi anggotanya di seluruh tanah air.
Edukasi ini penting bagi konstituen akar rumput (grassroots) yakni wartawan di lapangan yang tersebar di seluruh tanah air, sedangkan lobi penguatan untuk pengakuan legal formal dari presiden biarlah diurus para elit DPI dan Sekber Pers Indonesia yang berada di Jakarta.
Sebab, tidak ada jaminan bahwa di masa penantian legal formal DPI itu tidak terjadi masalah hukum akibat pemberitaan di tingkat akar rumput wartawan di lapangan walau sudah berusaha bekerja profesional dan aman (safety).
Bila hal itu terjadi (delik pers), lanjut Fredrich yang juga Ketua Dewan Kehormatan Perserikatan Jurnalis online Indonesia (Perjosi) maka dapat dipastikan wartawan yang bernaung di bawah DPI akan banyak menginap di "hotel prodeo" (penjara).
Sebab penyidik akan melakukan klarifikasi formal ke Dewan Pers (DP), terutama verifikasi perusahaan media serta sertifikat kompetensi wartawan sesuai aturan DP yang ada dan diakui oleh pemerintah dan akan keluar rekomendasi DP yang cenderung tidak akan berpihak kepada anggota DPI sebab medianya tidak terdaftar di DP sekalipun legal formal dari Kemenhumkam ada, serta wartawannya tidak ikut uji kompetensi wartawan.
Hasilnya, tidak akan digunakan Undang undang no.40 tahun 1999 tentang Pers, melainkan cenderung penyidik akan gunakan UU ITE dan KUHP seperti yang banyak terjadi selama ini, sehingga akan terus terjadi kriminalisasi terhadap Pers serta sebutan wartawan abal abal tetap menjadi stigma bagi wartawan di luar naungan DP.
Untuk itu, tim edukasi DPI dan Sekber Pers Indonesia serta seluruh organisasi pers yang bergabung dalam Sekber Pers yang telah membidani lahirnya DPI harus bergerak cepat melakukan bimbingan teknis kerja wartawan profesional yang dapat melakukan sosial kontrol dan kontrol media tanpa bersentuhan kasus hukum.
Hal ini penting untuk melindungi jurnalis online dari masalah hukum. Jumlah media berita online di tanah air hingga kini menurut catatan DP sudah mencapai 45.000 media lebih.
Inilah salah satu yang membedakan DP dan DPI. Kalau DP membentuk Tim Gabungan Penertiban Wartawan dan Media yang bertujuan menjatuhkan sanksi, maka DPI harus membentuk Tim Edukasi yang bertujuan melakukan pembinaan bagi wartawan untuk bekerja profesional, aman dan tidak tersentuh hukum.
Selain itu, Fredrich yang juga mantan General Manager Perum LKBN ANTARA mengatakan, karena DPI di daerah sudah ada di seluruh tanah air, maka langkah edukasi sebaiknya dilanjutkan pembentukan lembaga bantuan hukum (LBH) Pers DPI untuk membantu jurnalis yang tidak bisa menghindari bersentuhan dengan masalah hukum akibat pemberitaan, sekalipun sudah bekerja profesional.
Selain itu, DPI dan Sekber Pers Indonesia sebaiknya segera membuat buku panduan kerja jurnalis profesional, terutama bagi jurnalis online agar tidak terjadi lagi kriminalisasi terhadap Pers di tanah air, sebab tidak elok sebagai pilar ke empat demokrasi tetapi masih sering wartawan terkriminalisasi, ujarnya.
Jakarta, Beritatimur - Dewan Pers Indonesia (DPI) dan Sekretariat Bersama (Sekber) Pers Indonesia harus kompak melakukan dua penguatan sekaligus untuk menjaga eksistensinya kepada publik dan kepercayaan konstituennya.
Dua penguatan itu adalah penguatan
eksternal dan internal secara sekaligus untuk menjamin kepercayaan publik serta memberikan rasa aman dan nyaman bagi ribuan anggotanya yang tersebar di tanah air, usai Kongres Pers Indonesia yang mencatat sejarah terbentuknya DPI, kata Anggota Badan Pengawas DPI, Fredrich Kuen MSi menjawab pers usai rapat bersama di Hotel Ashley Jakarta, Jumat.
Rapat bersama DPI dan Sekber Pers Indonesia ini bertema penguatan kelembagaan DPI dan implementasi hasil Kongres Pers Indonesia.
Menurut dia, sambil melakukan lobi lobi penguatan menunggu status formilnya berupa Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia diterbitkan maka secara internal DPI dan Sekber Pers Indonesia juga harus melakukan penguatan internal dalam bentuk kegiatan edukasi bagi anggotanya di seluruh tanah air.
Edukasi ini penting bagi konstituen akar rumput (grassroots) yakni wartawan di lapangan yang tersebar di seluruh tanah air, sedangkan lobi penguatan untuk pengakuan legal formal dari presiden biarlah diurus para elit DPI dan Sekber Pers Indonesia yang berada di Jakarta.
Sebab, tidak ada jaminan bahwa di masa penantian legal formal DPI itu tidak terjadi masalah hukum akibat pemberitaan di tingkat akar rumput wartawan di lapangan walau sudah berusaha bekerja profesional dan aman (safety).
Bila hal itu terjadi (delik pers), lanjut Fredrich yang juga Ketua Dewan Kehormatan Perserikatan Jurnalis online Indonesia (Perjosi) maka dapat dipastikan wartawan yang bernaung di bawah DPI akan banyak menginap di "hotel prodeo" (penjara).
Sebab penyidik akan melakukan klarifikasi formal ke Dewan Pers (DP), terutama verifikasi perusahaan media serta sertifikat kompetensi wartawan sesuai aturan DP yang ada dan diakui oleh pemerintah dan akan keluar rekomendasi DP yang cenderung tidak akan berpihak kepada anggota DPI sebab medianya tidak terdaftar di DP sekalipun legal formal dari Kemenhumkam ada, serta wartawannya tidak ikut uji kompetensi wartawan.
Hasilnya, tidak akan digunakan Undang undang no.40 tahun 1999 tentang Pers, melainkan cenderung penyidik akan gunakan UU ITE dan KUHP seperti yang banyak terjadi selama ini, sehingga akan terus terjadi kriminalisasi terhadap Pers serta sebutan wartawan abal abal tetap menjadi stigma bagi wartawan di luar naungan DP.
Untuk itu, tim edukasi DPI dan Sekber Pers Indonesia serta seluruh organisasi pers yang bergabung dalam Sekber Pers yang telah membidani lahirnya DPI harus bergerak cepat melakukan bimbingan teknis kerja wartawan profesional yang dapat melakukan sosial kontrol dan kontrol media tanpa bersentuhan kasus hukum.
Hal ini penting untuk melindungi jurnalis online dari masalah hukum. Jumlah media berita online di tanah air hingga kini menurut catatan DP sudah mencapai 45.000 media lebih.
Inilah salah satu yang membedakan DP dan DPI. Kalau DP membentuk Tim Gabungan Penertiban Wartawan dan Media yang bertujuan menjatuhkan sanksi, maka DPI harus membentuk Tim Edukasi yang bertujuan melakukan pembinaan bagi wartawan untuk bekerja profesional, aman dan tidak tersentuh hukum.
Selain itu, Fredrich yang juga mantan General Manager Perum LKBN ANTARA mengatakan, karena DPI di daerah sudah ada di seluruh tanah air, maka langkah edukasi sebaiknya dilanjutkan pembentukan lembaga bantuan hukum (LBH) Pers DPI untuk membantu jurnalis yang tidak bisa menghindari bersentuhan dengan masalah hukum akibat pemberitaan, sekalipun sudah bekerja profesional.
Selain itu, DPI dan Sekber Pers Indonesia sebaiknya segera membuat buku panduan kerja jurnalis profesional, terutama bagi jurnalis online agar tidak terjadi lagi kriminalisasi terhadap Pers di tanah air, sebab tidak elok sebagai pilar ke empat demokrasi tetapi masih sering wartawan terkriminalisasi, ujarnya.