Keunikan Golok-Golok Mentok, Tradisi Memperingati Maulid Nabi di Kudus
"Golok-golok menthok bancaane bocah wedho. Cah lanang ra enthuk njanthok. Nek njanthok udele kethok."
LAGU berjudul ”Golok-Golok Mentok” itu, dilantukan oleh salah satu guru SD 1 Barongan, Kota, Kudus, saat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW Jumat (7/11) lalu. Peringatan pelahiran Nabi Muhammad di SD ini, memang berbeda dari sebelumnya. Pihak sekolah mewajibkan ratusan pelajar membawa keranjang dari anyaman bambu.
Anyamannya selang-seling berwaran pink, hijau, dan waran asli bilah bambu. Lingkar atas keranjang ini, berdiameter 10 cm, diameter bawah 7 cm, dan tingginya sekitar 15 cm. Di atasnya ada pegangan bilah bambu yang tak dicat. Keranjang ini disebut nanya yang digunakan untuk tradisi golok-golok menthok. Tradisi ini ada di Jawa Tengah, khususnya di Kabupaten Kudus.
Kepala Sekolah SD 1 Barongan Kudus Maskat mengatakan, digelarnya peringatan maulid nabi dengan tradisi ini bertujuan mengenalkan kepada anak-anak tradisi yang saat ini jarang digelar.
Ada sekitar 300 keranjang yang dibawa. Ratusan siswa duduk melingkar di lapangan sekolah. Keranjang ditata rapi. Isi keranjangnya nasi kuning komplit dengan lauknya. Mulai dari suwiran telur, mi goreng, hingga berkedel.
Sebelum menyantapnya, salah satu guru memimpin doa bersama. Doanya, agar anak-anak mendapatkan keberkahan saat memperingati maulid nabi. Suasana kian meriah ketika ratusan siswa saling bertukar makanan. Mereka kemudian lahap menikmati nasi yang ditukar itu.
Maskat menyatakan, tradisi ini belum pernah digelar di SD ini sebelumnnya. Peringatan Maulid Nabi tahun lalu dirayakan seperti umumnya dengan rebana dan tausiyah. Para siswa kebanyakan memang belum tahu tradisi golok-golok menthok. Dari situ, pihak sekolah punya inisiatif memperkenalkan tradisi yang hampir termakan zaman itu. ”Golok-golok menthok itu apa pak?,” katanya saat ditanya oleh siswanya.
Adanya tradisi ini, bertujuan melestarikan tradisi. Ke depan, Maskat berkomitmen menyelenggarakan golok-golok menthok lagi. ”Ini baru kali pertama (golok-golok menthok di sekolah). Tahun depan kami galakkan lagi tradisi ini,” ungkapnya.
Tradisi ini, juga digelar di Dukuh Ngaringan, Desa Klumpit, Kecamatan Gebog, Kudus. Ketua Panitia Kirab Fendi Bagu Prassetiyo menyatakan, tradisi golok-golok menthok terakhir diselenggarakan sekitar 2009 lalu. Tak ingin tradisi itu punah, para pemuda sepakat melestariakan tradisi ini kembali.
Kirab yang diadakan pada Rabu malam (6/11) lalu itu, berjalan meriah. Panitia membagikan 750 keranjang kepada warga. Acara tersebut kian meriah, karena digelar kirab keranjang golok-golok menthok raksasa. ”Waktu saya kecil hanya sekali ada kirab golok-golok menthok. Saya dan teman-teman sadar, tradisi (golok-golok menthok) harus tetap dilestarikan,” katanya.
Hal ini berbeda dengan di Desa Jepang, Kecamatan Mejobo, Kudus. Para warga masih menjaga tradisi golok-golok menthok. Plt Kades Mejobo Chamdan menyatakan, setiap memperingati maulid nabi, warganya masih melaksanakan tradisi golok-golok menthok. Budaya ini masih terjaga utuh. Terutama di musala dan masjid. ”Tradisi golok-golok menthok masih berjalan hingga saat ini. Ini merupakan sesuatu yang baik dan harus dilestarikan,” ujarnya.
Tradisi ini, aslinya anak-anak berkumpul di masjid atau musala. Kemudian membawa jajan pasar atau ketan ditaburi srondeng di dalam nanya. Kemudian didoakan dan saling bertukar jajanan. Filofosi kata golok menthok dari kata golok (bahasa Jawa) yang artinya parang. Sedangkan menthok artinya dada. Jadi, maknanya harapan besar bagi umat Islam agar mengimani atau memahami ajaran nabi. Agar iman umat Islam setajam golok dan tertanam kuat di dalam hati.
Tradisi ini, ada untuk mensyukuri kelahiran Nabi Muhammad yang membebaskan dari zaman jahiliyah. Saat masih dalam zaman itu, martabat perempuan sangat rendah. Anak perempuan dibunuh dan dianggap aib. Biasanya saat istri melahirkan anak perempuan, akan dikubur hidup-hidup. Setelah Nabi Muhammad SAW lahir menjadi rasul, kaum perempuan diangkat derajatnya dan terbesa dari zaman jahiliyah.
Meski aslinya tradisi ini dikhususkan untuk anak perempuan, tapi anak laki-laki tetap bisa mengikuti.