Jerat Hukum Kejahatan Bank Yang Dilakukan Orang Dalam

Kejahatan “orang dalam” dalam bentuk penipuan (fraud) dan self dealing merupakan penyebab utama kehancuran bank.



Beritatimur.id, Jakarta – Dalam kaitannya dengan tindak pidana di bidang perbankan ini kejahatan yang dilakukan oleh orang dalam perlu mendapat perhatian khusus. 
Kejahatan perbankan yang dilakukan oleh orang dalam adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang dalam bank terhadap bank (crimes against the bank).
Kejahatan “orang dalam” dalam bentuk penipuan (fraud) dan self dealing merupakan penyebab utama kehancuran bank karena bagian terbesar asset bank berbentuk likuid.
Contoh di Amerika Serikat misalnya insider fraud merupakan 50% dari kejahatan yang terjadi pada perbankan.
Kejahatan oleh “orang dalam” ini dapat dilakukan oleh pengurus dan atau pemegang saham dominan (pemegang saham pengendali) yang mempengaruhi pengurus bank. Kejahatan yang dilakukan tersebut dapat digolongkan ke dalam dua cara.
Pertama, dilakukan dengan memanfaatkan kedudukannya untuk kepentingan diri sendiri secara melawan hukum.
Kedua, mismanagement berat berupa tindakan ceroboh yang oleh hakim pasti dikecualikan dari prinsip business judgement.
Kejahatan “orang dalam” sangat erat kaitannya dengan dominasi terhadap kebijakan dan administrasi oleh seorang, atau beberapa orang dan lemahnya pengawasan.
Baik pengawasan yang dilakukan oleh pengawas internal maupun eksternal (regulator).
Berbagai ketentuan yang berlaku menyebabkan bank sering mengambil risiko yang berlebihan, yang menyebabkan turunnya tingkat pengawasan internal, sehingga kegagalan bank yang disebabkan oleh penipuan oleh orang dalam menjadi lebih tinggi.
Dalam hal ini terjadi suatu tindak pidana di bidang perbankan yang dilakukan oleh orang dalam terdapat beberapa undang-undang yang dapat dan biasanya diterapkan yaitu.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Ketentuan KUHP yang biasa dipakai misalnya Pasal 263 (pemalsuan) Pasal 372 (penggelapan), 374 (penggelapan dalam jabatan), 378 (penipuan), 362 (pencurian), dan lainya.
Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 3/1971, UU No. 31/99 jo UU no. Tahun 2002.
Ketentuan UU Korupsi biasanya diterapkan terhadap kasus yang menimpa bank pemerintah UU ini dipergunakan untuk memudahkan menjerat pelaku, mengenakan hukuman yang berat dan memperoleh uang pengganti atas kerugian negara.
UU Perbankan, ketentuan dalam undang-undang ini biasanya diterapkan apabila Komisasris, Direksi, Pegawai dan pihak  terafiliasi dengan bank
(“orang dalam”) atau orang yang mengaku menjalankan usaha bank sendiri sebagai pelakunya.
Kejahatan perbankan khususnya pembobolan dan penjarahan bank didorong oleh motif untuk menguntungkan pribadi bankir dengan cara merugikan bank dan masyarakat. Dalam kenyataannya praktek ini pernah dan selalu akan terjadi di belahan dunia manapun, baik di negara maju maupun negara berkembang.
Praktik tersebut selalu terjadi ketika kesempatan untuk melakukannya terbuka.
Secara empiris, tindak pidana korupsi perbankan melalui penipuan, pembobolan dan penjarahan seringkali terjadi di Indonesia.  Hampir setiap tahun hal tersebut terjadi baik yang menimpa bank besar maupun bank kecil.
Baik yang dilakukan oleh pihak dalam bank maupun pihak luar bank. Baik yang dilakukan oleh pemilik bank maupun oleh pegawai bank. Tindak kejahatan yang dilakukan pun semakin beragam dan kompleks.
Prakteknya dari mulai pembobolan kartu kredit, pemalsuan kartu ATM, pemindahbukuan secara ilegal, transfer fiktif, surat tagihan bodong, NCD fiktif sampai kredit fiktif.
Kejahatan yang relatif kecil dan dilakukan oleh pegawai rendahan biasanya terjadi karena kelemahan dalam sistem prosedur di dalam bank.
Kejahatan besar yang dilakukan manajemen puncak dan pemilik bank biasanya bukan karena kelemahan prosedur internal, tetapi lebih diakibatkan kelemahan karakter bankir.
Terlepas dari siapapun yang melakukannya, praktek pembobolan dan korupsi perbankan adalah sangat berbahaya, karena dapat menggoyahkan keamanan sistem keuangan dan kepercayaan publik terhadap perbankan nasional.
Karena itu penegakan hukum dan tindakan preventif menjadi sangat penting dalam mencegah terjadinya tindak kejahatan perbankan.
Modus Korupsi di Sektor Perbankan dilakukan dengan tujuan untuk :
  1. Mengklasifikasikan antara kejahatan perbankan umum dengan tindak pidana korupsi pada sektor perbankan.
  2. Mendapatkan gambaran awal – yang sebisa mungkin menyeluruh – tentang potensi dan kondisi kejahatan perbankan termasuk korupsi pada lembaga perbankan termasuk korupsi pada lembaga perbankan.
  3. Memetakan potensi terjadinya kejahatan perbankan dan korupsi yang mungkin terjadi pada sektor perbankan serta modus operandinya.
  4. Mendapatkan gambaran awal yang dari waktu ke waktu bisa digunakan sebagai data pembanding dengan kondisi di masa depan.
  5. Mencari akar masalah atas potensi terjadinya kejahatan perbankan dan korupsi pada sektor perbankan.
  6. Menyusun masukan yang dapat digunakan untuk menghindari terjadinya kejahatan perbankan dan korupsi pada sektor perbankan.
  7. Menyusun masukan mengenai penanganan kejahatan perbankan dan kasus korupsi pada sektor perbankan terkait dengan kewenangan KPK.
Penulis : Helmi Ramdhoni

Subscribe to receive free email updates: