Catatan kritis demokrasi Bangsa Indonesia



*"Krisis Apa sih yang sebenarnya melanda dari bangsa kita?"* Ya! Tidak lain, tidak bukan, krisis itu bernama *KRISIS KETELADANAN !*


*MELEK* politik, memilih dengan *CERDAS* dan bersikap *KRITIS* terhadap keadaan merupakan suatu kewajiban. Tetapi, memandang dengan *OBJEKTIF* juga suatu keharusan! 


*INI TENTANG PILPRES 2024 KITA !*


Bicara tentang Pilpres 2024, saya akan membagi 'area permainan' menjadi tiga bagian, agar mudah dicerna dan dipahami.


Pertama, area permainan sebelum pertandingan dimulai, sebelum pencoblosan, dimulai dari masa pendaftaran. 


Semua kandidat pasti punya strategi untuk menang dan tidak ada satu pun yang menyiapkan strategi untuk kalah. Maka yang namanya strategi itu lebih dominan yang tidak tampak dari pada yang muncul di permukaan publik. Maka di fase ini, abaikan semua strategi yang tak tampak itu, mau itu halal, haram, curang, atau yang lurus-lurus saja. kita fokus pada yang tampak saja dan publik tahu semua. 


Kita tahu bahwa Anies Baswedan yang pertama kali mendapatkan pasangan bersama Cak Imin, kemudian disusul dengan Ganjar - Mahfud, lalu terakhir Prabowo - Gibran. 


Perlu dicatat, dengan majunya Gibran ini telah mencatatkan rekor tersendiri, bahwa ia menjadi satu-satunya anak presiden yang pertama dalam sejarah Indonesia bahkan dunia, maju pada kontestasi kepemimpinan nasional suatu negara ketika bapaknya masih aktif menjabat sebagai Presiden. Tentu ini juga bagian dari strategi Tim Prabowo untuk menang. 


Masalahnya, Gibran dimajukan dengan jalan Judicial Review (JR) UU Pemilu No.7 Tahun 2017, dimana batas minimal usia capres/cawapres awalnya yaitu minimal 40 tahun. Lalu dari JR ini lahirlah putusan MKMK yang menyatakan ketua MK dinyatakan bersalah atas Pelanggaran Etik. dari MKMK berlanjut ke putusan DKPP yang menyatakan Ketua KPU RI juga dinyatakan bersalah atas Pelanggaran Etik, karena tetap memproses dan menerima Gibran sebagai Cawapres, pada hal aturan KPU RI nya sendiri tentang batas usia minimal 40 tahun yang ia buat, belum diubah. ibarat bermain sepak bola, semua gol yang lahir dari offside semua menjadi sah, tapi syarat nya harus cabut dulu aturan offside! 


Well, show must go on, perkara ada pelanggaran etik, pertunjukan tetap jalan terus. Fase berlanjut. Dan ini menjadi bintik hitam dalam catatan sejarah untuk bangsa kita yang agaknya akan terus diingat! 


Kedua, area permainan saat hari H-Pemilihan. Sekali lagi saya mengingatkan, menjadi melek, cerdas, dan berpikir kritis dalam politik itu suatu kewajiban, dan bersikap objektif itu juga suatu keharusan. Pemilu secara umum berjalan lancar dan damai. Adakah temuan dugaan pelanggaran? ada! dari video yang sudah beredar di publik, beberapa TPS ditemukan adanya surat suara yang sudah tercoblos duluan untuk pasangan tertentu. Serta masih adanya oknum KPPS yang culas dan tidak netral. Sikap yang jauh dari ksatria, tentu kecurangan seperti ini telah mencoreng pertandingan yang seharusnya fair play, bersih, jujur & adil, sehingga siapa pun yang menang atau kalah, jika fair play, semua menjadi terhormat! 


Kertas suara yang sudah tercoblos tetapi ketahuan duluan mungkin benar tidak jadi terhitung, dianggap masuk kertas suara rusak. Lain halnya dengan culasnya oknum KPPS yang tidak netral, tentu suara akan masuk ke kardus dan akan terhitung sebagai suara sah. Lagi-lagi, fase ini sudah lewat, dan show must go on. 


Ketiga, area permainan pasca pencoblosan (masa penghitungan). 


inilah titik yang paling krusial, alias paling rawan dari semua tahapan pemilu, siapa pemenangnya, ditentukan dari angka-angka yang telah dihitung.


saya ambil tiga statemen dari tiga tokoh, Bambang Wijayanto (BW), mantan pimpinan KPK dan Hamdan Zoelva (HZ), mantan Ketua MK, keduanya masuk di Timnas AMIN, serta Mahfudz MD (MM), calon wakil presiden 03. 


Pasca muncul hasil Quick Count dari beberapa lembaga survey setelah jam dari pukul 15.00 WIB, BW dan HZ berpendapat telah terjadi kecurangan yang Terstruktur, Sistematis, dan Massif (TSM) terhadap hasil Quick Count Pilpres 2024. Ada pun MM berpendapat tidak mungkin sebuah survey angkanya menyentuh 50% lebih. 


Tentu dugaan kecurangan ini harus kita pandang dengan objektif, berani menuduh - harus berani membuktikan. 


*Yuk, kita kupas Quick Count & Riil Count !*


Catat baik-baik ! Tidak ada yang salah dengan operasi penghitungan matematik, mau itu penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian ( +, -, ×, ÷ ). maka 100 + 100  ya sama dengan 200. Dengan demikian, ditinjau dari operasi hitung matematik, hasil Quick Count lembaga survey itu (hampir) pasti benar adanya, sepanjang tidak salah angka dalam menginput. Karena data yang ada tinggal ditambahkan saja. lalu dibuatlah presentase nya. 


Lalu, masalahnya dimana? Menurut saya, masalahnya itu justru terletak dalam penyampaian data informasi ke publik. 


Tiga pertanyaan penting yang tidak boleh diabaikan dalam penyampaian hasil suara pilpres 2024 : Dari mana angka suara itu berasal? Bagaimana angka suara itu ada?, dan Angka Siapa yang mau dirilis duluan. 


Berangkat dari 3 pertanyaan ini, maka sesungguhnya setiap kandidat punya kesempatan yang sama, menang dalam versi Quick Count! Syaratnya?dimana ada TPS yg memenangkan kandidat tersebut, diinput, dijumlah dan dirilis terlebih dahulu. Maka terbentuklah informasi awal bahwa pemenangnya adalah si A, si B, atau si C. Pokoknya informasi awal harus terbentuk. Ditambah semakin banyak pihak yg merilis hasil yang sama, maka semakin cenderung 'memaksa' alam bawah sadar pembaca, bahwa pemenang nya itu. 10 orang berkata A, 1 orang berkata B, maka A ini bisa 'dianggap' valid, pada hal fakta kebenaran itu tidak ditentukan oleh banyaknya pihak yang berpendapat sama.  Dalam hal ini, tujuan Quick Count untuk membentuk opini hasilnya sukses besar. Masih ingat dengan guyonan Cak Lontong beberapa waktu yang lalu, siapa pemenang pileg tahun ini? Jawabannya 100% PKS! Kok bisa? Ya bisa, karena yang ia survey di markas PKS 😊


*Mari kita hitung sama-sama !*


Dari data KPU RI, pada pemilu tahun ini ada sekitar 204.800.000 Daftar Pemilih Tetap (DPT), yang tersebar di 823.236 TPS, dalam dan luar negeri, di mana setiap TPS rata-rata hanya menerima tidak lebih dari 300 orang pemilih. 


Pengesahan siapa pemenangnya, ditentukan oleh penghitungan Riil Count KPU RI berbasis penghitungan manual C1 (C Hasil) berjenjang, dari TPS, tingkat kecamatan, tingkat kabupaten, tingkat provinsi, lalu dijumlah secara nasional dari total TPS sebanyak 823.236 tersebut. 


Maka kalau ada pihak yang mempertanyakan keabsahan Quick Count yang hanya mengambil sampling 2000an TPS saja, pada hal masih ada sisa 821.000 TPS yang belum dihitung, ya masih wajar ! Apalagi bila kembali pada 3 pertanyaan diatas terkait rilis Quick Count. 


Kita lanjutkan perhitungan ! Misal, tingkat parsipasi pemilih mencapai terbaik pada angka 80% dari DPT. 


80 % x  204.800.000 = 163.840.000, inilah jumlah suara yang masuk, karena one vote one value, satu orang poin nya sama yakni 1 suara. 


Misalnya lagi, dari 163.840.000 suara, 1% masuk kategori suara tidak sah, maka jumlah sisa suara sah  menjadi 162.201.600 suara. 


162 juta-an suara yang diperebutkan oleh 3 kandidat. Untuk menang satu putaran, maka dibutuhkan suara setidaknya lebih dari 50%, kita buat 51% misalnya, maka jumlah suaranya menjadi 


51% x 162.201.800 = 82.722.316


Beberapa masalah serius yang timbul : 

1. Jika perhitungan yang sah diambil dari penghitungan manual berjenjang, mengapa harus ada aplikasi Sirekap KPU RI ?

 

2. Setiap pemilu tiba, kenapa sistem  aplikasi seperti Sirekap ini aksesnya selalu downgrade ? Seakan tidak siap, tidak cepat, dan tidak segap? Pada hal operasi penghitungan manual bila diserahkan ke anak SD juga bisa. 


3. Di lapangan, para anggota KPPS telah bekerja secara jujur & profesional, lalu kenapa saat memindahkan upload C1 hasil ke Sirekap, justru ada angka yang tidak sama, bahkan menggelembung jauh?  Pada hal setiap TPS hanya dibatasi rata-rata 300 pemilih saja? 


4. Tidak sinkronnya antara angka yang terinput dengan pindahi C1 hasil, jika itu salah, kenapa kasus tersebut terus terulang dan terus terposting ke publik? 


5. Masalah kredibilitas dan kejujuran KPU RI, dalam hal penghitungan ini haruskah diserahkan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) di bawah sumpah Al Quran sekalian agar bisa jujur dalam menghitung? 


Teori kecurangan itu sebenarnya sangat mudah untuk dibaca. Terhadap penggelembungan suara, pihak yang berniat curang pasti tidak mungkin akan menggelembungkan suara dalam satu dapil. Dengan kata lain, mark up angka-angka pasti akan ditebar secara merata dari setiap Dapil di semua provinsi dan luar negeri. Juga tidak mungkin 100% semua TPS akan di Mark Up, karena jumlah DPT sudah dipatok di awal. Mungkin dari 100% jumlah TPS yang ada, ambil 5% dari 823.236 TPS. 


Potensi Mark Up 5% dari jumlah TPS


5% x 823.236 = 41.161 TPS


Temuan BW ketika memantau Sirekap, ditemukan angka Mark Up pada pasangan 02, angkanya naik berkisar antara 300-500 per TPS dari perolehan yang sebenarnya pada C1 plano. Pada hal telah jelas, dalam 1 TPS rata-rata kurang dari 300 pemilih saja ! 


Dengan demikian, jika mark up hanya 5% dari TPS, dan angka Mark up per TPS dibuat 300 saja, maka total potensi Mark Up nya sebesar :


41.161 x 300 = 12.348.300 suara! 


Angka ini setara dengan 6% dari jumlah DPT sebesar 204.800.000 pemilih.


Atau, 


12.348.300 : 162.201.600  (asumsi 80% pemilih yg hadir)  x 100% = 7,6℅ 


Bagaimana kalau mark up nya 500? maka marginnya naik menjadi 12,6%. 


Sebuah jarak yang cukup untuk memenangkan kontestasi dengan satu putaran saja, antara kandidat yang menang dengan yang kalah. 


Kesimpulannya :

1. KPU RI harus menjamin sinkronnya data yang tertera pada Aplikasi Sirekap dengan pindahan upload C1 Plano. Data harus sama!


2. Jika KPU RI tidak bisa menjamin kesamaan antara data yang terinput dengan pindahan C1 plano, sebaiknya tutup saja Sirekap dan kembali pada sistem rekap manual C1 dan berjenjang


3. Bagi pihak yang menuding adanya kecurangan TSM, inilah saatnya bagi Anda untuk membuktikan secara riil. 


4. Mengajak semua lapisan masyarakat untuk memantau Aplikasi Sirekap KPU RI, mau tidak mau, agar tidak ada satu pun C1 plano dari setiap TPS yang lepas dari pengawasan. Ingat data input dengan Data Upload C1 plano harus sama! Dengan demikian, sistem hitung manual dengan Sirekap hasilnya selalu sama karena berasal dari sumber yang sama. 


Yakinlah dengan Pemilu yang bersih, fair play, jujur dan adil, maka siapa pun yang terpilih, menang/kalah semua akan terhormat, semua akan berlapang dada, termasuk bagi para pendukung nya. 


Negeri kita butuh keteladanan. Negeri kita hanya krisis keteladanan. Dengan ikut mengawal pemilu yang bersih, kita juga turut meringankan para pemimpin kita kelak di yaumul hisab nanti. Karena sejatinya, syahwat politik, perebutan kekuasaan, siapa pun yang hari ini bertarung, di hadapan Allah kelak, mereka sangat tidak menghendaki pertanggungjawaban atas kepemimpinan yang diperebutkan hari ini. ingin rasanya mereka lari dari semua ini dan berharap hal ini tidak pernah terjadi dalam kehidupan mereka. 


Semoga dengan pemilu yang bersih, Allah SWT berkenan memberkahi negara kita, Indonesia yang sangat kita cintai ini.

 https://youtu.be/fOGUgoPSVcg?si=HI30GUaJeQT2j3jS


QS. Al-Baqarah Ayat 250


وَلَمَّا بَرَزُوۡا لِجَـالُوۡتَ وَجُنُوۡدِهٖ قَالُوۡا رَبَّنَآ اَفۡرِغۡ عَلَيۡنَا صَبۡرًا وَّثَبِّتۡ اَقۡدَامَنَا وَانۡصُرۡنَا عَلَى الۡقَوۡمِ الۡکٰفِرِيۡنَؕ



Dan ketika mereka maju melawan Jalut dan tentaranya, mereka berdoa, "Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran kepada kami, kukuhkanlah langkah kami dan tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir."


16.02.2024 / 02.50 WIB 


Edi Setiono, S.Pi

Founder rumahquranbahasa.com / Anggota MUI Kab.Pemalang (2024-2029)

Subscribe to receive free email updates: